Reposting Tulisan : Reza A.A Wattimena
Pada 2023 lalu, saya diajak berdiskusi secara daring oleh satu organisasi di Sumatera. Diskusi bermuara pada pemahaman tentang Tuhan. Satu pembicara menjelaskan Tuhan dengan mengutip begitu banyak kata-kata asing. Semua, tentu saja, semakin bingung.
Moderator langsung mengarahkan pertanyaan pada saya. Menurut Pak Reza, Tuhan itu apa? Spontan, saya menjawab: Tuhan adalah kesadaran. Ia berada di dalam diri manusia, sekaligus di dalam segala sesuatu. Kita tidak perlu teriak-teriak mencarinya, apalagi pergi ke tanah asing yang tak jelas tujuannya, dan hanya buang-buang uang semata.
Tuhan sebagai Kesadaran
Saya pun diminta menjelaskan. Saya memulai dengan satu pandangan sederhana, bahwa diri manusia itu tidak ada. Yang disebut diri adalah ilusi hasil dari kesalahan berpikir mendasar. Sejatinya, kita adalah gelombang perubahan yang selalu terhubung dengan segala yang ada.
Kita, pendek kata, sudah selalu adalah keseluruhan semesta. Sebagai manusia, kita memiliki kesadaran. Dalam arti ini, kesadaran bukanlah sebuah misteri yang tak terpecahkan. Ada dua arti kesadaran, sebagaimana saya kembangkan dalam Teori Transformasi Kesadaran dalam buku Kesadaran, Agama dan Politik (2024): klik ini: Kesadaran, agama dan politik
Pertama, kesadaran adalah sumber pengetahuan dan pengalaman manusia. Kita bisa mengetahui sesuatu, karena kita sadar. Di dalam Zen, ada teknik meditasi dengan model ini. Setiap ada pikiran dan perasaan yang muncul, kita lalu bertanya, apa sumber dari hal ini, lalu kembali ke sumber utama dari semua pikiran serta perasaan tersebut.
Dua, kesadaran adalah panggung dari semua pengalaman manusia. Pengalaman datang dan pergi. Ada yang menyenangkan dan ada yang tak menyenangkan. Pengalaman manusia pun berubah-ubah, sesuai dengan perubahan keadaan.
Namun, ada satu yang tetap, yakni panggung dari semua hal yang berubah tersebut. Panggung itu bersifat stabil dan tenang. Ia tidak terpengaruh oleh pikiran, perasaan serta pengalaman yang datang dan pergi. Panggung itu adalah kesadaran.
Jadi, kesadaran adalah sekaligus pencipta maupun penggung dari pengalaman batin manusia. Ia adalah Tuhan yang ada di dalam diri manusia. Kita hanya perlu berhenti terpikat pada pengalaman, pikiran serta perasaan yang muncul. Kita kembali ke sumbernya, dan menetap di sana. Ini juga berarti menetap bersama Tuhan yang juga adalah diri kita sendiri.
Alam Semesta
Kesadaran di dalam diri manusia sama dengan kesadaran di seluruh semesta. Tidak ada keterpisahan sama sekali. Segala bentuk keterpisahan hanya ciptaan dari pikiran dualistik yang tersesat. Di dalam teori transformasi kesadaran, saya menyebutnya sebagai kesadaran distingtif-dualistik.
Bagaimana bentuk kesadaran di alam semesta? Kesadaran adalah ruang yang menopang segala yang ada, termasuk galeksi, bintang, tata sura, planet dan sebagainya. Para fisikawan menyebutnya sebagai materi gelap (dark matter) dan energi gelap (dark energy). Dari ruang hampa yang tak terbatas itu, segala yang ada muncul, dan ditopang keberadaannya.
Sebagai kesadaran yang menopang seluruh semesta, termasuk kita di dalamnya, Tuhan tak perlu disembah. Ia tak rakus pujian. Ia tak butuh dijilat dengan perbuatan baik kita yang penuh rasa pamrih. Orang tak perlu teriak-teriak untuk mencapainya. Orang juga tak perlu mengunjungi tanah asing gersang untuk mencarinya.
Peran Agama
Tuhan tak butuh agama. Agama juga bukan satu-satunya jalan menuju Tuhan. Jalan-jalan lain mungkin lebih baik untuk mengalami Tuhan, seperti jalan ilmu pengetahuan, filsafat, sains, seni dan sebagainya. Agama adalah organisasi sosial politik. Ia adalah sepenuhnya ciptaan manusia, dan akan punah suatu saat nanti.
Sebagai organisasi sosial politik ciptaan manusia, agama hanya punya satu tujuan, yakni kekuasaan. Agama ingin mengontrol manusia, supaya patuh dan rajin membayar sumbangan untuk kepentingan para pemuka agamanya. Agama ingin mengontrol manusia, supaya mereka tak berpikir kritis, rasional, sistematis dan logis. Kita perlu melakukan desakralisasi agama, yakni melepaskan agama dari pesona kegaiban yang, sesungguhnya, tak pernah ada.
Maka, kita perlu menempatkan agama di tempat yang semestinya. Jika tak lagi sepakat dengan visi dan misi organisasi agama, kita bisa meninggalkannya. Kita menjadi manusia yang utuh penuh bersama dengan keseluruhan semesta yang ada. Atau, kita bisa mendalami agama-agama yang ada sampai ke titik terdalamnya, yakni unsur mistiknya yang selama ini terlupakan.
Unsur mistik adalah unsur terdalam semua ajaran. Di titik ini, tidak ada lagi diri yang bersifat mandiri. Semua melebur bersama semua. Kita tidak lagi melihat diri kita sebagai mahluk yang terpisah dengan Tuhan, atau terpisah dengan segala yang ada.
Di titik ini, ada kejernihan dan kebahagiaan yang muncul. Welas asih terhadap semua yang ada pun lahir secara alami. Derita tetap ada. Namun, ia dipahami sebagai hal yang sementara. Derita adalah bagian dari memiliki tubuh dan batin sebagai manusia.
Kita pun bisa bertindak tepat dari saat ke saat. Ada waktunya kita makan dan minum. Ada waktunya kita beristirahat. Ada waktunya kita marah, dan ada waktunya kita tertawa. Semua pada waktu yang tepat, dan sesuai dengan keadaan yang membutuhkan di depan mata.
Note :
Reza A.A Wattimena
Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Kesadaran, Agama dan Politik. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman. Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023), Zendemik (2024), Teori Politik Progresif Inklusif (2024), Kesadaran, Agama dan Politik (2024) dan berbagai karya lainnya.
Sumber : https://rumahfilsafat.com/2024/11/18/tuhan-kesadaran-dan-peran-agama/