
Ilustrasi orang miskin
Jakarta, Melansir ulang tulisan Reza A.A Wattimena, Pendiri Rumah Filsafat. Pengembang Teori Transformasi Kesadaran dan Teori Tipologi Agama. Peneliti di bidang Filsafat Politik, Filsafat Ilmu dan Kebijaksanaan Timur. Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, Doktor Filsafat dari Hochschule für Philosophie München, Philosophische Fakultät SJ München, Jerman.
Beberapa karyanya: Menjadi Pemimpin Sejati (2012), Filsafat Anti Korupsi (2012), Tentang Manusia (2016), Filsafat dan Sains (2008), Zen dan Jalan Pembebasan (2017-2018), Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Demokrasi: Dasar dan Tantangannya (2016), Bahagia, Kenapa Tidak? (2015), Cosmopolitanism in International Relations (2018), Protopia Philosophia (2019), Memahami Hubungan Internasional Kontemporer (20019), Mendidik Manusia (2020), Untuk Semua yang Beragama (2020), Terjatuh Lalu Terbang (2020), Urban Zen (2021), Revolusi Pendidikan (2022), Filsafat untuk Kehidupan (2023), Teori Transformasi Kesadaran (2023), Teori Tipologi Agama (2023) dan berbagai karya lainnya.
Dalam artikelnya yang saya lansir ulang yang berjudul “Pertautan Kemiskinan dan Kebodohan di Indonesia” kiranya dapat menginspirasi kita keluar dari masyarakat yang bodoh dan miskin. Berikut tulisan selengkapnya :
Pertautan Kemiskinan dan Kebodohan di Indonesia
Indonesia dijajah oleh sekelompok elit politik-ekonomi-religius. Mayoritas warganya hidup dalam kebodohan dan kemiskinan. Sedikit pengamatan akan membawa kita pada kesimpulan ini. Kita adalah negara bodoh dan miskin di tengah tanah serta laut yang sangat kaya.
Dalam arti ini, Indonesia adalah negara yang dimiskinkan. Ini fakta yang tak terbantahkan. Sumber daya alam kita melimpah. Manusia kita kreatif, dan siap bekerja dengan tekun dalam keadaan yang memungkinkan. Namun, politik dan hukum kita membusuk, karena pemimpin yang korup sampai ke tulangnya, sehingga kita hidup dalam kebodohan serta kemiskinan.
Ada banyak data statistik. Saya tak mau pusing soal itu. Penguasa busuk menggunakan statistik untuk seolah menunjukkan, bahwa mereka sudah bekerja dengan baik. Namun, statistik lain juga bisa dengan jelas membuktikan sebaliknya, bahwa mereka gagal total dalam bekerja.
Mungkin, pendekatan fenomenologi bisa membantu disini. Fenomenologi berarti mencoba mengamati dunia dari sudut orang yang mengalaminya. Kekayaan pengalaman dan penghayatan atas peristiwa pun terbuka luas. Dalam arti ini, kemiskinan adalah bagian utuh dari keseharian ratusan juta rakyat Indonesia.
Kebutuhan gizi dasar tak terpenuhi. Perumahan yang layak juga tak ada bagi ratusan juta rakyat Indonesia. Pendidikan nasional boleh saja bebas biaya, namun mutunya begitu rendah, dan bahkan menindas serta memperbodoh peserta didik. Pemerintah gagal total dalam menjalankan tugasnya, yakni menghadirkan keadilan dan kemakmuran untuk seluruh rakyat Indonesia, tanpa kecuali.
Kemiskinan Struktural dan Kebodohan Kolektif
Mengapa ini terjadi? Apa akar kemiskinan di Indonesia? Jawabannya hanya satu, yakni kebodohan. Kata dungu juga bisa digunakan untuk menggambarkannya.
Yang pertama adalah kebodohan kolektif. Inilah kebodohan kita sebagai sebuah entitas sosial. Kita membiarkan tradisi dan pola lama yang membusuk tetap berlangsung. Di alam demokrasi, kita memilih pemimpin yang korup dan busuk. Akhirnya, kita tetap hidup dalam negara dan masyarakat yang juga korup dan miskin.
Buah dari kebodohan kolektif adalah kemiskinan struktural. Orang menjadi miskin, bukan karena ia malas atau bodoh, tetapi karena sistemnya begitu busuk. Sistem dan budaya yang busuk itu membuat segala kekuatan pribadi menjadi tak bermakna, termasuk kerajinan dan kecerdasan yang dimilikinya. Gejala yang berikutnya terjadi adalah minggatnya orang-orang berbakat ke negara lain yang lebih menghargai mereka (brain drain).
Kemiskinan dan Kebodohan Pribadi
Yang kedua adalah kebodohan pribadi. Secara pribadi, orang malas bekerja. Ia juga tak mengembangkan pengetahuannya, sehingga tetap bodoh. Buahnya adalah ia hidup dalam kemiskinan yang merupakan hasil karyanya sendiri.
Orang lalu miskin di tengah masyarakat yang kaya. Ini dengan mudah ditemukan di negara-negara maju. Orang lalu hidup dari belas kasihan negara. Pola ini yang kiranya membebani bentuk negara kesejahteraan (Sozialstaat) yang dirancang di Eropa Barat dan Eropa Utara.
Jika akar kemiskinan adalah kebodohan, lalu dari mana kebodohan lahir? Kemampuan berpikir rasional adalah bagian dari kodrat manusia. Proses evolusi telah melahirkan dan mengembangkannya. Namun, tak semua orang menggunakannya secara tepat.
Empat Akar Kebodohan
Ada empat hal yang penting untuk direnungkan. Pertama, kebodohan lebih dekat dengan ketidakberpikiran (Gedankenlosigkeit). Orang mampu berpikir, tetapi tidak mau berpikir. Ia malas dalam berpikir, dan memilih untuk berkubang dalam kebodohan, baik kebodohan kolektif maupun kebodohan pribadi.
Dua, buah dari ketidakberpikiran adalah mentalitas dangkal. Orang hidup hanya dengan mengikuti apa kata tradisi dan pola lama. Ia tidak mempertanyakan keadaan, melainkan menerima saja segalanya sebagai benar secara buta. Ketika keadaan menjadi busuk dan korup, maka ia ikut juga menjadi busuk dan korup begitu saja.
Tiga, kebodohan juga berarti kesalahan pemahaman tentang kehidupan. Orang tak memahami hidup dan dunia sebagaimana adanya. Ia hidup dengan konsep-konsep yang salah. Ketika konsep tentang hidup dan dunia salah, maka tindakannya pun juga akan menyiksa dirinya serta orang sekitarnya.
Empat, pola pendidikan juga berperan besar di dalam kebodohan kolektif maupun pribadi. Di Indonesia, mutu pendidikan kita begitu rendah. Agama/ideologi kematian dari tanah gersang menumpulkan akal sehat serta merusak kejernihan nurani kita. Sebagai manusia Indonesia, kita hidup di dalam iklim ketidakberpikiran dan pandangan yang sesat tentang dunia, akibat terkaman agama/ideologi kematian dari tanah gersang ini.
Keluar dari Kebodohan dan Kemiskinan
Jika ingin keluar dari kemiskinan dan kebodohan, kita mesti mengembangkan diri. Kita mesti belajar dari berbagai sumber. Kita mesti berani mempertanyakan tradisi dan pola lama yang sudah membusuk, terutama cara berpikir yang berkembang dari agama/ideogi kematian dari tanah gersang. Kita harus menggunakan akal sehat, serta mengembalikan kejernihan nurani kita.
Baru dengan begitu, kita bisa memiliki dampak baik untuk lingkungan sekitar. Setelah itu, kita perlu bergerak bersama untuk melawan segala bentuk kebodohan kolektif dan kemiskinan struktural yang ada. Disinilah arti penting gerakan sosial dalam bentuk organisasi. Perubahan sosial ke arah yang baik selalu datang dari orang-orang tercerahkan yang bergerak bersama sebagai organisasi dengan misi yang luhur. Jangan ditunda lagi…
Sumber : https://rumahfilsafat.com/2024/08/06/pertautan-kemiskinan-dan-kebodohan-di-indonesia/